Budaya Jimat di Masyarakat

http://4.bp.blogspot.com/-TDSGihH2ehs/UvOyNJRqMoI/AAAAAAAAAAc/tVKH64_s2TM/s1600/2.gif
Bookmark and Share
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sungguh keadaan kaum muslimin di zaman kita sekarang ini telah sampai pada tahap yang cukup mengkhawatirkan. Sebagian kaum muslimin terjerumus dan asyik di dalam berbagai macam bentuk dosa. Bahkan di antara mereka ada yang terjerumus ke dalam dosa syirik. Namun yang lebih menyedihkan, mereka tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu termasuk ke dalam dosa syirik. Padahal Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisa: 48). Pada ayat ini, Allah menyatakan bahwa sesungguhnya dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah selama-lamanya kecuali jika pelaku kesyirikan tersebut bertaubat dari dosa syirik yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui mana sajakah perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada dosa syirik, agar dengan demikian kita dapat terhindar dari dosa yang sangat berbahaya ini.
Jimat adalah salah satu bentuk kesyirikan
Salah satu hal yang termasuk dalam kategori dosa syirik adalah jimat (tamimah). Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet termasuk kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ”Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Hakekat Jimat
Jimat pada masa jahiliyah dahulu dikalungkan pada anak kecil atau binatang untuk menolak ‘ain (pandangan hasad/dengki, berakibat mudharat bagi orang yang dipandang). Namun pada hakekatnya jimat tidaklah terbatas pada bentuk dan kasus tersebut, akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apapun, dikalungkan, digantungkan, diletakkan di tempat manapun dengan maksud untuk menghilangkan atau menangkal marabahaya. Jadi jimat bisa berupa kalung, batu akik, keris, cincin, sabuk (ikat pinggang), atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu, seperti di atas pintu, di dalam kendaraan, dipasang pada ikat pinggang, sebagai susuk, atau ditulis di kertas dan dimasukkan di saku celana, dan lain-lain dengan maksud mengusir atau tolak bala’. (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid). Ingatlah bahwa setiap jimat pasti tidak terbukti secara syari’at (dalil dari Allah dan Rasul-Nya) maupun logika (hasil eksperimen ilmiah) dapat memberikan manfaat atau menolak bahaya.
Budaya Jimat (alias syirik) di Masyarakat
Berikut adalah beberapa contoh budaya jimat di masyarakat saat ini.
  1. Apabila ada orang yang memasak sayur lodeh kemudian dimakan dengan tujuan untuk menolak bahaya (= tolak bala) seperti wabah demam berdarah (DB). Atau menggantungkan sesuatu paket tolak bala di pintu rumah (yang di dalamnya berisi sumbu kompor, janur kuning, daun gadap, dll) dengan tujuan menolak bala seperti tsunami dan gempa bumi. Maka sayur lodeh dan paket tolak bala tersebut termasuk jimat. Karena secara syari’at, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyatakan demikian. Begitu juga secara akal atau berdasarkan eksperimen ilmiah, tidak ada hubungannya antara sayur lodeh atau paket tersebut dengan menghindarkan diri dari bahaya (seperti DB atau tsunami). Karena para ahli di bidang tersebut tidak pernah menyatakan, “Barangsiapa yang memakan sayur lodeh maka dia akan terhindar dari DB”. Adapun yang disyariatkan agar dapat menolak bahaya adalah dengan berdoa hanya kepada Allah untuk menghindarkan kita dari bahaya tersebut, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia menghendaki” (Al An’am: 41).
  2. Apabila ada seorang ibu yang meletakkan gunting (atau benda-benda lainnya) di samping bayinya yang baru lahir (sebagaimana yang terjadi di Jakarta dan daerah lainnya) dengan tujuan agar bayi tersebut terhindar dari gangguan setan, maka gunting tersebut adalah jimat. Penjelasannya sebagaimana contoh pertama di atas. Adapun cara yang benar adalah dengan membacakan doa kepada bayi tersebut di antara doanya sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “‘u’idzuka bikalimatillahit tammati min kulli syaithonin wa hammatin wa min kulli ‘aynin lammatin” (HR Bukhari), yang artinya ‘Aku meminta perlindungan kepada Allah untukmu dengan kalimat Allah yang sempurna dari semua gangguan setan dan binatang, serta dari semua bahaya sihir ‘ain (pandangan hasad) yang tajam’.
  3. Apabila ada orang yang mengikuti tes penerimaan calon pegawai negeri sipil, kemudian orang tersebut menggunakan pulpen khusus (pulpen keberuntungan) untuk mengerjakan soal dan dia menganggap pulpen tersebut adalah sebab dia lulus tes, maka pulpen tersebut termasuk jimat. Karena tidak ada dasarnya dari Allah dan Rasul-Nya yang menyatakan kedua benda tersebut dapat mendatangkan keuntungan/manfaat. Lagipula, secara logika, tidak ada hubungannya antara lulus tes dengan pulpen. Sebagus dan semahal apapun pulpen yang digunakan, jika dia tidak dapat menjawab soal, tentu saja dia tidak akan lulus tes. Adapun sikap yang benar adalah hendaknya seseorang belajar sungguh-sungguh agar dapat lulus tes dan tidak lupa untuk selalu berdoa kepada Allah semata agar diluluskan dalam ujiannya tersebut.
Masih banyak contoh macam dan peristiwa lain yang dapat dinilai bahwa benda yang digunakan adalah jimat. Apabila tujuannya adalah untuk menghilangkan atau menolak bahaya dan sebabnya tidak terbukti baik secara syar’i maupun keilmiahan/logika, serta benda itu dikalungkan, digantung atau disimpan dengan cara apapun, maka benda-benda tersebut termasuk jimat.
Apabila Jimat berupa Ayat Al Qur’an…
Pembahasan berikutnya adalah bagaimana seandainya yang digantungkan berupa ayat Al-qur’an, ayat kursi atau dzikir-dzikir yang ada dalam syari’at ? Maka jawabannya adalah seandainya tujuan menggantungkannya tersebut adalah untuk dihafal, maka hal ini dibolehkan. Namun, apabila tujuan menggantungkan ayat tersebut untuk menolak bahaya, maka perkara ini termasuk suatu keharaman. Namun hal ini tidaklah sampai pada tingkatan syirik karena dia telah bersandar pada kalamullah, dan bukan bersandar pada makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penggunaan jimat ini secara umum, tidak dikecualikan satu pun, termasuk Al Qur’an tidak dikecualikan juga. Sebab lainnya adalah hal ini dapat mengantarkan pelecehan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, semisal ketika orang yang menggantungkan ayat kursi di lehernya masuk ke kamar mandi dan tempat-tempat buruk lainnya.
Apabila seseorang menggantungkan ayat-ayat al-quran (atau tulisan Allah, Nabi Muhammad dan sebagainya) di mobil dengan tujuan agar terhindar dari kecelakaan, maka perbuatan seperti ini haram. Contoh lain adalah menyimpan Al-Qur’an ukuran super mini (yang untuk membacanya saja harus menggunakan kaca pembesar) di dompetnya, dengan tujuan menolak bahaya. Maka ini juga termasuk perbuatan yang haram. Hal ini bertentangan dengan tujuan diturunkannya Al-qur’an, yaitu untuk dibaca dan dijadikan pedoman hidup kita.
Adapun tulisan-tulisan arab yang tidak jelas maknanya (dikenal dengan sebutan rajah) dan biasa digantungkan di pintu-pintu rumah dengan tujuan untuk menolak bahaya (agar tidak kemasukan pencuri dan sebagainya), maka hal ini termasuk kesyirikan.
Bersandarlah hanya kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bersandar kepada sesuatu, maka ia akan disandarkan padanya.” (HR Ahmad dan Trimidzi, dihasankan oleh Al Arna’uth). Pada hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan diserahkan kepada yang dia jadikan sandaran. Seorang muslim yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah, maka Allah akan menolong, memudahkan dan mencukupi segala urusannya. Sebaliknya, orang yang bersandar kepada selain Allah (seperti bersandar pada jimat), maka Allah akan membiarkan orang tersebut dengan sandarannya, sehingga kita dapatkan orang-orang semacam ini hidupnya tidak pernah tenang. Dia hidup dengan kekhawatiran dan ketakutan. Dia takut apabila jimatnya hilang atau dicuri, dia kehilangan percaya diri ketika jimatnya tidak bersamanya. Sungguh hal ini merupakan suatu kerugian yang nyata. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya semata. Cukuplah Allah tempat kami menggantungkan segala sesuatu. Wallahu a’lam. [Boris Tanesia]
buletin.muslim.or.id

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar